Gambar kegiatan 1

Atraksi Marching Band MAN 2 Kota Sukabumi dalam rangka partisipasi aktif HAB Kota Sukabumi

Gambar Kegiatan 2

Paduan Suara MAN 2 Kota Sukabumi berartisipsi aktif dalam memeriahkan HAB Kemenag Kota Sukabumi

Gambar Kegiatan 3

Marawis MAN 2 Kota Sukabumi tengah mengikuti kegiatan festifal Marawis

Gambar kegiatan 4

Kepala MAN 2 Kota Sukabumi tengah menjadi pembina dalam upacara hari senin

Foto Kegiatan Paskibra MAN 2

Pasukan Paskibra MAN 2 Kota Sukabumi saat berpose di lapang latihan

Selasa, 15 Maret 2011

Memelihara Sikap Muraqabah

Memelihara Sikap Muraqabah

Allah SWT berfirman (yang artinya): Dia selalu bersama kalian di mana pun kalian berada (QS al-Hadid: 4); Sesungguhnya tidak ada sesuatupun yang tersembunyi di mata Allah, baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi (QS Ali Imran: 6); Allah mengetahui mata yang berkhianat [yang mencuri pandang terhadap apa saja yang diharamkan] dan apa saja yang tersembunyi di dalam dada (QS Ghafir: 19).
Sebagian ulama mengisyaratkan, ayat-ayat ini merupakan tadzkirah (peringatan) bahwa: Allah Maha Tahu atas dosa-dosa kecil, apalagi dosa-dosa besar; Allah Mahatahu atas apa saja yang tersembunyi di dalam dada-dada manusia, apalagi yang tampak secara kasat mata.
Di sinilah pentingnya muraqabah. Muraqabah (selalu merasa ada dalam pengawasan Allah SWT) adalah salah satu maqam dari sikap ihsan, sebagaimana yang pernah diisyaratkan oleh Malaikat Jibril as. dalam hadits Rasulullah SAW, saat kepada beliau ditanyakan: apa itu ihsan? Saat itu Malaikat Jibril as sendiri yang menjawab, “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat Dia. Jika engkau tidak melihat Allah maka sesungguhnya Dia melihat engkau.” (HR Muslim).
Demikian pula sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits penuturan Ubadah bin ash-Shamit, bahwa Baginda Rasulullah SAW pernah bersabda, “Iman seseorang yang paling utama adalah dia menyadari bahwa Allah senantiasa ada bersama dirinya di manapun.” (HR al-Baihaqi, Syu’ab aI-Iman, I/470).
Dalam hadits lain Baginda Rasulullah bersabda, “Bertakwalah engkau dalam segala keadaanmu!” (HR at-Tirmidzi, Ahmad dan ad-Darimi).
Dalam Tuhfah al-Awadzi bi Syarh Jâmi’ at-Tirmidzi, disebutkan bahwa frase haytsumma kunta (dalam keadaan bagaimanapun) maksudnya dalam keadaan lapang/sempit, senang/susah, ataupun riang-gembira/saat tertimpa bencana (Al-Mubarakfuri, VI/104). Haytsumma kunta juga bermakna: di manapun berada, baik saat manusia melihat Anda ataupun saat mereka tak melihat Anda (Muhammad bin ‘Alan ash-Shiddiqi, Dalil al-Falihin, I/164).
Terkait dengan sikap muraqabah atau ihsan ini, ada riwayat bahwa Umar bin al-Khaththab pernah menguji seorang anak gembala. Saat itu Umar membujuk sang gembala agar menjual domba barang seekor dari sekian ratus ekor domba yang dia gembalakan, tanpa harus melaporkannya ke majikan sang gembala. Toh sang majikan tak akan mengetahui karena banyaknya domba yang digembalakan. Namun, apa jawaban sang gembala. “Kalau begitu, di mana Allah? Majikanku mungkin memang tak tahu. Namun, tentu Allah Maha Tahu dan Maha Melihat,” tegas sang gembala.
****
Jujur harus kita akui, sikap muraqabah (selalu merasa dalam pengawasan Allah SWT), sebagaimana yang ditunjukkan oleh sang gembala dalam kisah di atas, makin jauh dari kehidupan banyak individu Muslim saat ini. Banyak Muslim yang berperilaku seolah-olah Allah SWT tak pernah melihat dia. Tak ada lagi rasa takut saat bermaksiat. Tak ada lagi rasa khawatir saat melakukan dosa. Tak ada lagi rasa malu saat berbuat salah. Tak ada lagi rasa sungkan saat berbuat keharaman. Setiap dosa, kemaksiatan keharaman dan kesalahan ‘mengalir’ begitu saja dilakukan seolah tanpa beban. Banyak Muslim saat ini yang tak lagi merasa risih saat korupsi, tak lagi ragu saat menipu, tak lagi merasa berat saat mengumbar aurat, tak lagi merasa berdosa saat berzina, tak lagi merasa malu saat selingkuh, dll. Semua itu terjadi akibat mereka gagal ‘menghadirkan’ Allah SWT di sisinya dan melupakan pengawasan-Nya atas setiap gerak-gerik dirinya. Mengapa gagal? Karena banyak individu Muslim yang awas mata lahiriahnya, tetapi buta mata batiniahnya. Mereka hanya mampu melihat hal-hal yang kasat mata, tetapi gagal ‘melihat’ hal-hal yang gaib: pengawasan Allah SWT; Hari Perhitungan, surga dan neraka, pahala dan siksa, dst. Yang bisa mereka lihat hanyalah kenikmatan dunia yang sedikit dan kesenangan sesaat. Tentu, kondisi ini harus diubah, agar seorang Muslim kembali memiliki sikap muraqabah.
****
Adanya sikap muraqabah pada diri seorang Muslim paling tidak dicirikan oleh dua hal. Pertama: selalu berupaya menghisab diri, sebelum dirinya kelak dihisab oleh Allah SWT. Kedua: sungguh-sungguh beramal shalih sebagai bekal untuk kehidupan sesudah mati. Dua hal inilah yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, “Orang cerdas adalah orang yang selalu menghisab dirinya dan beramal shalih untuk bekal kehidupan setelah mati. Orang lemah adalah orang yang selalu memperturutkan hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah SWT.” (HR at-Tirmidzi, Ahmad, Ibn Majah dan al-Hakim).
Ketiga: meninggalkan hal-hal yang sia-sia, sebagaimana sabda Nabi SAW, “Di antara kebaikan keislaman seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tak berguna.” (HR at-Tirmidzi). Jika yang tak berguna saja-meski halal-ia tinggalkan, apalagi yang haram.
Itulah di antara wujud sikap muraqabah. Semoga kita adalah pelakunya. [] abi

Minggu, 13 Maret 2011

Parfum Beralkohol, Najiskah?

Parfum Beralkohol, Najiskah?

Tanya :
apa hukumnya menggunakan parfum yang beralkohol?
Jawab :
Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya menggunakan parfum beralkohol. Sebagian ulama tidak membolehkan karena menganggap alkohol najis. Sedang sebagian lainnya membolehkan, karena tak menganggapnya najis. Perbedaan pendapat tentang kenajisan alkohol berpangkal pada perbedaan pendapat tentang khamr, apakah ia najis atau tidak.
Khamr itu sendiri menurut istilah syar’i adalah setiap minuman yang memabukkan. (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hal. 25). Di masa kini lalu diketahui, unsur yang memabukkan itu adalah alkohol (etanol, C2H5OH). Maka dalam istilah teknis kimia, khamr didefinisikan sebagai setiap minuman yang mengandung alkohol (etanol) baik kadarnya sedikit maupun banyak. (Abu Malik Al-Dhumairi, Fathul Ghafur fi Isti’mal Al-Kuhul Ma’a al-‘Uthur, hal. 13).
Menurut jumhur fuqaha, seperti Imam Abu Hanifah, Maliki, Syafi’i, Ahmad, dan Ibnu Taimiyah, khamr itu najis. Namun menurut sebagian ulama, seperti Rabi’ah Al-Ra`yi, Imam Laits bin Sa’ad, dan Imam Muzani, khamr itu tak najis. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 1/260 & 7/427; Imam Al-Qurthubi, Ahkamul Qur`an, 3/52; Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, 1/18).
Ulama yang menganggap khamr najis berdalil dengan ayat (artinya),“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji (rijsun) termasuk perbuatan syaitan.” (QS Al-Ma`idah : 90). Ayat ini menunjukan kenajisan khamr, karena Allah SWT menyebut khamr sebagai rijsun, yang berarti najis. (Wahbah Zuhaili, ibid., 7/427)
Namun ulama yang menganggap khamr tak najis membantah pendapat tersebut. Mereka berkata rijsun dalam ayat tersebut artinya adalah najis secara maknawi, bukan najis secara hakiki. Artinya khamr tetap dianggap zat suci, bukan najis, meskipun memang haram untuk diminum. (Tafsir Al-Manar, 58/7; Imam Shan’ani, Subulus Salam, 1/36; Sayyid Sabiq, Fiqih As-Sunnah, 1/19).
Adapun menurut kami, yang rajih adalah pendapat jumhur bahwa khamr itu najis. Dalilnya memang bukan QS Al-Ma`idah : 90, dalam panci-panci mereka dan meminum khamr dalam bejana-bejana mereka.” Nabi SAW menjawab, “Jika kamu dapati wadah lainnya, makan makan dan minumlah dengannya. Jika tidak kamu dapati wadah lainnya, cucilah wadah-wadah mereka dengan air dan gunakan untuk makan dan minum.” (HR Ahmad & Abu Dawud, dengan isnad shahih). (Subulus Salam, 1/33; Nailul Authar, hal. 62).
Hadits di atas menunjukkan kenajisan khamr, sebab tidaklah Nabi SAW memerintahkan untuk mencuci wadah mereka dengan air, kecuali karena khamr itu najis. Ini diperkuat dengan riwayat Ad-Daruquthni, bahwa Nabi SAW bersabda,”maka cucilah wadah-wadah mereka dengan air karena air itu akan menyucikannya.” (farhadhuuhaa bil-maa`i fa-inna al-maa`a thahuuruhaa) (Mahmud Uwaidhah, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Shalah, 1/45).
Kesimpulannya, alkohol (etanol) itu najis karena mengikuti kenajisan khamr. Maka, parfum beralkohol tidak boleh digunakan karena najis. Wallahu a’lam. (ustadz siddiq al jawie; mediaumat.com)

Adakah Nabi Bayangan ?

Adakah Nabi Bayangan ?

Soal:
Mencuatnya kembali kasus Ahmadiyah disertai pembelaan kaum Liberal soal kenabian Ghulam Ahmad, bahwa Ghulam Ahmad adalah Nabi bayangan, sebagaimana yang dikatakan Zuhairi Misrawi (Kompas, 16/2/2011). Pertanyaannya, adakah dalam pandangan Islam Nabi bayangan?
Jawab:
Istilah Nabi dan Rasul adalah istilah syar’i, yang makna dan konotasinya telah didefinisikan oleh syariah dalam nas-nas syara’.[1] Menurut Ahlussunnah, seperti al-Baidhawi dan al-Baghdadi, Nabi dan Rasul adalah orang yang sama-sama diberi wahyu oleh Allah. Semua Rasul adalah Nabi, tetapi tidak semua Nabi adalah Rasul. Menurut mereka, Rasul adalah orang yang membawa syariat baru, atau menghapus hukum-hukum syariat sebelumnya.[2]
Karena itu, istilah Nabi dan Rasul adalah istilah khas dengan konotasi khas. Istilah ini tidak boleh digunakan, kecuali dengan konotasi dan konteks sebagaimana yang ditetapkan oleh syariah. Mengenai istilah yang digunakan oleh Zuhairi, bahwa ada Nabi independen (mustaqil), dan Nabi bayangan, maka harus ditegaskan bahwa istilah Nabi independen ini sebenarnya adalah Rasul, karena mereka mempunyai syariat sendiri. Istilah ini digunakan oleh Ismail al-Barwaswi dalam Tafsir Haqqi, Tafsir Tanwir al-Adzhan, dan Ruh al-Bayan.[3] Sementara istilah Nabi bayangan ini hanyalah rekaan kaum Ahmadi untuk menyebut Ghulam Ahmad. Menurutnya, Nabi bayangan ini taat dan patuh kepada Nabi independen, yaitu Nabi Muhammad.
Klaim bahwa Ghulam Ahmad taat dan patuh kepada Nabi Muhammad adalah dusta. Karena, kalau dia taat dan patuh kepada Nabi saw., pasti dia tidak akan mengklaim dirinya sebagai Nabi, baik Nabi bayangan atau Nabi apapun. Sebab, Nabi saw. sendiri sudah menyatakan:
«كَانَ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا مَاتَ نَبِيٌّ قَامَ بَعْدَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ، وَسَتَكُوْنُ خُلَفَاءَ فَيَكْثُرُوْنَ» [رواه البخاري ومسلم واللفظ للبخاري]
“Bani Israil telah dipimpin oleh para Nabi, ketika seorang Nabi wafat, maka setelahnya akan ada Nabi baru yang menggantikannya. Sungguh tidak ada seorang Nabi pun setelahku, dan akan ada banyak khalifah.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Pernyataan Nabi saw. yang dengan tegas menafikan, bahwa tidak ada seorang Nabi pun setelah baginda, dengan konstruksi kalimat La an-nafiyah li al-jins (huruf La yang menafikan semua jenis), yaitu Innahu La Nabiyya ba’di (sungguh tidak ada seorang Nabi pun setelahku), disertai dengan ta’kid (penegasan) dengan Inna, menunjukkan bahwa semua jenis kenabian, apakah Nabi independen, Nabi bayangan atau Nabi apapun setelah baginda tidak akan pernah ada. Itulah maksud konstruksi kalimat La an-nafiyah li al-jins.
Hadits ini sekaligus menjelaskan tafsir ayat al-Qur’an:
مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.” (Q.s. al-Ahzab [33]: 40)
Ayat ini menyebut Nabi Muhammad sebagai Khatama an-Nabiyyin, yang berarti penutup Nabi-nabi. Bukan konotasi yang lain. Dengan demikian, klaim bahwa Ghulam Ahmad taat dan patuh kepada Nabi Muhammad saw. jelas bohong.
Selain itu, jika ada orang yang mengklaim sebagai Nabi, berarti dia juga telah mengklaim dirinya mendapatkan wahyu dari Allah SWT. Padahal, secara syar’i wahyu hanya diturunkan oleh Allah SWT. kepada Nabi dan Rasul-Nya. Ibn Hajar al-Asqalani menyatakan:
«وَشَرْعًا الإعْلاَمُ بِالشَّرْعِ وَقَدْ يُطْلَقُ الْوَحْيُ وَيُرَادُ بِهِ اِسْمُ المَفْعُوْلِ مِنْهُ أَيْ الْمُوْحَي وَهُوَ كَلاَمُ اللهِ المُنَزَّلُ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم» [رواه البخاري ومسلم واللفظ للبخاري]
“Secara syar’i,  wahyu adalah pemberitahuan mengenai syariat. Kadang disebut dengan istilah wahyu, namun dengan konotasi isim maf’ul-nya, yaitu sesuatu yang diwahyukan, berupa kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.” [4]
As-Suyuthi menyatakan:
«اَلْوَحْيُ مَا يُوْحِيَ اللهُ إِلَى نَبِيٍّ مِنَ الأَنْبِيَاءِ فَيُثْبِتَهُ فِي قَلْبِهِ، فَيَتَكَلَّمَ بِهِ وَيَكْتُبَهُ وَهُوَ كَلاَمُ الله»
“Wahyu adalah apa yang diwahyukan oleh Allah kepada salah seorang Nabi untuk diteguhkan dalam hatinya, sehingga dia menyampaikannya dan menulisnya. Itulah kalam Allah.” [5]
Dengan demikian, klaim bahwa Ghulam Ahmad adalah Nabi, jelas dusta. Karena dia tidak mendapatkan wahyu, sebagaimana pengertian wahyu secara syar’i. Tentang klaimnya, bahwa dia menerima wahyu sebagaimana yang dituangkan dalam kitabnya, Tadzkirah,juga merupakan kebohongan. Abu Bakar as-Shiddiq menyatakan dengan tegas, wahyu tidak lagi turun pasca wafatnya baginda saw.:
«مَضَىٰ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَانْقَطَعَ الْوَحْيُ»
“Nabi saw. telah pergi (wafat), dan wahyu pun terputus (berhenti).” [6]
Dalam riwayat lain, ‘Umar menyatakan:
«أَلاَ وَإِنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَدِ انْطَلَقَ وَانْقَطَعَ الْوَحْيُ»
“Ingat, bahwa Nabi saw. telah berlalu (wafat), dan wahyu pun telah terputus (berhenti).” [7]
Ini dinyatakan di hadapan para sahabat, di depan mata dan telinga mereka, dan  tidak seorang pun di antara mereka ada yang mengingkarinya. Dengan kata lain, telah menjadi Ijmak Sahabat, bahwa wahyu tidak akan turun lagi setelah baginda saw. wafat. Karena itu, jika ada klaim bahwa ada orang yang menerima wahyu, setelah Nabi saw. wafat, berarti klaim tersebut bertentangan dengan Ijmak Sahabat di atas.
Klaim Ghulam Ahmad sebagai Nabi juga meniscayakan dirinya harus ma’shum (tidak berdosa). Karena, nubuwwah (kenabian) tersebut meniscayakan harus ma’shum. Fakta membuktikan, bahwa Ghulam Ahmad tidak ma’shum, bahkan bukan saja berdosa besar, tetapi telah murtad. Pandangannya yang menyatakan dirinya Nabi, haji ke Baitullah - Makkah dan zakat tidak wajib adalah bukti yang tak terbantahkan.
Karena itu, semua klaim yang menyatakan, bahwa Ghulam Ahmad adalah Nabi bayangan adalah batil, sesat dan menyesatkan. Demikian juga, klaim yang menyatakan, bahwa Ghulam Ahmad sebagai Nabi bayangan yang taat dan tunduk kepada Nabi Muhammad, dan tidak membawa syariat baru, adalah klaim yang juga batil, sesat dan menyesatkan. Begitu juga klaim yang menyatakan, bahwa Ghulam Ahmad menerima wahyu juga merupakan klaim batil, sesat dan menyesatkan.  Wallahu Rabb al-musta’an wa ilahi at-takilan. (Hafidz Abdurrahman)

[1] Al-Qur’an telah menggunakan lafadz an-Nabi sebanyak 31 kali, dengan konotasi orang yang diutus oleh Allah SWT. Sedangkan lafadz ar-Rasul digunakan sebanyak 56 kali, danRasul-Llah sebanyak 17 kali.
[2] Al-Imam Abi Manshur ‘Abd al-Qahir bin Thahir at-Tamimi al-Baghdadi, Kitab Ushul ad-Din, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, cet. III, 1981, hal. 154; al-Imam Nashiruddin al-Baidhawi, Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil, Dar al-Fikr, Beirut, Lebanon, t.t., juz IV, hal. 57.
[3] Ismail al-Barwaswi, Tafsir Haqqi, Dar as-Salafiyyah, India, cet., t.t., Juz IX, hal. 311;Ismail al-Barwaswi, Tafsir Tamwir al-Adzhan; Ismail al-Barwaswi, Tafsir Haqqi, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut, cet., 1985, Juz VI, hal. 266;
[4] Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, ed. Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi Muhibbuddin al-Khathib, Dar al-Ma’rifat, Beirut, 1379 H, Juz I, hal. 9.
[5] Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., Juz I, hal. 45.
[6] Jalaluddin as-Suyuthi, Jami’ al-Masanid wa al-Marasil, Dar al-Fikr, Beirut, 1994, Juz XIII, hal. 187.
[7] Jalaluddin as-Suyuthi, Jami’ al-Masanid wa al-Marasil, Dar al-Fikr, Beirut, 1994, Juz XV, hal. 76.

Sabtu, 12 Maret 2011

Nafâits Tsamârat: Hati-hati Kehilangan Surga

Nafâits Tsamârat: Hati-hati Kehilangan Surga

Seorang lelaki di antara orang-orang shalih melakukan shalat malam. Kemudian ia membaca firman Allah SWT:
وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (TQS. Ali Imran [3] : 133).
Lelaki tersebut terus mengulang bacaan ayat itu sambil menangis hingga pagi. Dikatakan padanya: “Sungguh sebuah ayat telah membuatmu menangis. Mengapa ayat seperti itu membuatmu menangis. Padahal ia menjelaskan bahwa surga itu luas dan lebar.”  Lelaki itu berkata: “Wahai putra saudaraku (keponakanku)! Betapapun luasnya surga itu, tidak ada gunanya bagiku jika aku di sana tidak memiliki tempat pijakan bagi kedua kakiku.”
Siapakah seseorang yang lebih butuh untuk menangis dan lebih dekat pada penderitaan dari pada seseorang yang menyakini bahwa surga tempat kembalinya dan kenikmatan tempat peristirahatannya. Kemudian yang ia dapati justru berbeda dari apa yang telah ia yakini; atau seorang yang telah kehilangan ketaatan yang membuka jalannya menuju surga dan yang mendekatkannya pada surga.
Dalam hal ini, seperti menagisnya Yunus bin Ubaid ketika menjelang kematiannya ia memandangi kedua kakinya sambil menangis. Dikatakan kepadanya: “Apa yang membuatmu menangis?” Yunus berkata: “Kedua kakiku tidak ada bekas debu bahwa keduanya telah digunakan di jalan Allah!”.

Mesir Negeri Para Ilmuwan

Dr. Fahmi Amhar
Setelah Tunisia, Mesir pun mengalami revolusi.  Husni Mubarak yang kini bagi rakyat Mesir diplesetkan menjadi “Laa Husni wa Laa Mubarak” (yang tidak bagus dan tidak barokah) akhirnya mundur, setelah didemo besar-besaran selama 18 hari, disindir terus majikannya, yakni Obama, Presiden AS dan akhirnya ditinggalkan tentaranya.
Tetapi belum pasti, apakah pergantian rezim ini berarti juga pergantian dari sistem sekuler menjadi sistem Islam.  Sistem sekuler terbukti hanya menjadikan Mesir terpuruk dan terhina.  Dari sisi sains dan teknologi, SDM bergelar “Master of Science” per sejuta penduduk di Mesir hanya ada 370 orang, sementara di Israel ada 13.000 orang!  Meski ini data dari UNDP tahun 2003, tapi sepertinya secara perbandingan belum ada perubahan signifikan.
Padahal dulu berabad-abad Mesir adalah negeri para ilmuwan, baik ilmuwan di bidang fiqih maupun di bidang sains dan teknologi.  Kehebatan Mesir hanya tertandingi oleh Cordoba dan Baghdad.  Rahasianya ada pada Islam.
Memang, berabad-abad sebelum Islam hadir di Mesir, negeri ini pernah memiliki banyak matematikawan, astronom dan insinyur yang hebat.  Para insinyur itu digunakan Fir’aun untuk membangun piramid raksasa dengan presisi yang tinggi.  Sebelum datangnya Romawi, Alexandria pernah memiliki perpustakaan terlengkap di dunia.  Namun Romawi lalu memusnahkan perpustakaan itu.  Selama enam setengah abad sesudahnya, Mesir tenggelam dalam kegelapan peradaban.  Sampai akhirnya cahaya Islam datang.
Ketika pasukan Amr bin Ash membebaskan Mesir dari tangan Romawi, pampasan perang yang diminta bukanlah emas, perak atau harta benda sejenisnya.  Tetapi semua buku kuno yang telah ditelantarkan berabad-abad.  Buku-buku itu lalu diterjemahkan, dipelajari dan dikembangkan.  Tanpa upaya ini, mungkin kita hanya mengenal Ptolomeus sebagai seorang jenderal yang menjabat gubernur, bukan sebagai astronom yang menulis buku astronomi Almagest, yang dipelajari di seantero dunia Islam sebagai tafsir ayat “Dan langit bagaimana ditinggikan” (QS al-Ghasiyah:18).
Al-Azhar, pabrik ilmuwan kelas dunia sejak 1000 tahun.
Al-Azhar, pabrik ilmuwan kelas dunia sejak 1000 tahun.
Di Mesirlah sejak tahun 969 M berdiri universitas kelas dunia, Universitas al-Azhar.  Dalam sejarahnya yang sangat panjang, dari universitas ini muncul tidak cuma orang-orang yang mumpuni dalam ilmu, tetapi juga rajin mengingatkan para penguasa yang lalai ataupun berdiri di garis depan dalam jihad fi sabilillah melawan tentara salib ataupun penjajah Barat lainnya.  Reputasi pabrik ilmuwan kelas dunia seperti itulah yang memanggil para aghniya untuk wakaf dengan aset-aset produktif - seperti kebun, pabrik atau pasar - agar Al-Azhar dapat terus memberi beasiswa calon-calon ulama pejuang dari seluruh dunia.
Dalam sejarahnya yang panjang itu Mesir bertabur bintang-bintang sains.  Inilah beberapa di antaranya:
Di bidang ilmu Kimia:
Pada 650-704 M, Khalid ibn Yazid adalah ahli kimia Muslim pertama yang menerjemahkan ilmu kimia kuno (alkimia) Mesir kuno ke dalam bahasa Arab.  Sejak itulah ilmu kimia berkembang di seantero dunia Islam.
Pada 1250 M, para insinyur di Mesir berhasil membuat senapan tangan (midfa), yang merupakan prototype pistol atau senjata api yang portable.  Senjata ini digunakan oleh pasukan Mesir untuk mengalahkan tentara Mongol dalam pertempuran di Ain Jalut.  Menurut Syamsuddin Muhammad (wafat 1327 M), pistol ini memiliki bubuk mesiu yang terdiri dari 74 persen amonia, 11 persen belerang dan 15 persen karbon) - sebuah komposisi yang ideal seperti di zaman modern.  Pasukan Mesir juga dikabarkan sudah menggunakan pakaian yang tahan api agar tidak terluka oleh cartridge mesiu yang mereka bawa.
Di bidang matematika dan fisika:
Pada 850-890 M hiduplah Abu Kamil Syuja ibn Aslam ibn Muhammad ibn Syuja, yang merupakan simpul penting dalam pengembangan matematika, penghubung antara al-Khwarizmi (penemu aljabar) dengan al-Karaji (penemu geometri analitis).  Abu Kamil lah orang pertama yang menuliskan notasi dengan tanda pangkat seperti
n . X m = X n+m
Dalam dunia fisika, penemuan optika oleh Ibn al-Haitsam (1021 M) juga dapat dikatakan terjadi di Mesir, ketika al-Haitsam ini mengalami tahanan rumah, setelah insinyur yang berasal dari Iraq itu gagal menyelesaikan proyek bendungan sungai Nil, lalu pura-pura gila.
Pada 1312-1361 M, Tajuddin Ali ibn ad-Duraihim ibn Muhammad at-Tha’alibi al-Mausili menulis banyak hal tentang ilmu persandian (kriptologi).  Karyanya diungkap dalam salah satu bab dari ensiklopedi 14 jilid karya Syihabuddin Abu’l Abbas Ahmad ibn Ali bin Ahmad Abdullah al-Qalqasyandi (1356-1418 M).  Di situ dijelaskan teknik substitusi dan transposisi, dari yang sederhana hingga yang rumit, sehingga mampu membuat suatu plain-text menjadi text yang tidak dapat dibaca kecuali dengan analisis kripto tingkat tinggi.
Sekitar tahun 1000-1009 M, Ibnu Yunus mempublikasikan hasil risetnya di bidang fisika dan astronomi Al-Zij al Hakimi al Kabir.  Ini adalah deskripsi paling awal tentang gerak bandul (pendulum).  Dia juga membangun tugu astrolab yang pertama.
Di bidang teknologi rekayasa:
Pada 860 M, astronom al-Farghani membangun Nilometer, sebagai alat peringatan dini tinggi air sungai Nil, baik untuk mengantisipasi banjir ataupun kekeringan.
Pada 953 M Ma’ad al Mu’izz, seseorang qadi di Mesir, menemukan fulpen yang tidak akan mengotori tangan atau bajunya, yang tintanya tersimpan dalam suatu reservoir dan turun oleh gaya gravitasi dan kapiler.  Ini adalah penemuan fulpen yang tercatat pertama kali, seperti direkam oleh an-Nu’man al-Tamimi (wafat 974 M) dalam bukunya Kitab al-Majalis wa’l Musayardh.
Pada tahun 1000-an M, banyak penemuan teknik di Mesir seperti ventilator untuk pertambangan, penggilingan gandum bertenaga air sungai yang berbentuk jembatan (bridge mill) dan industri logam bertenaga air.
Pada 1551 M, insinyur Taqiyuddin yang disponsori pemerintah Utsmaniyah di Mesir menciptakan mesin uap, jauh lebih dulu dari James Watt (1736-1819) di Inggris.
Di bidang kedokteran:
Pada 800 M didirikan rumah sakit jiwa pertama di dunia oleh seorang dokter di Cairo.
Pada 1118-1174 M, penguasa Mesir Nur ad-Dien Zanqi memerintahkan membangun rumah sakit pendidikan pertama di dunia.  Dokternya, Abu al-Majid al-Bahili menyumbangkan perpustakaannya.
Pada 1285 M di Cairo berdiri rumah sakit terbesar di dunia, atas perintah Sultan Qalaun al-Mansur.  Menurut Willy Durant, rumah sakit ini dilengkapi dengan halaman-halaman terpisah untuk setiap kelompok pasien dengan penyakit yang berbeda, disejukkan dengan kolam-kolam air mancur, laboratorium, apotik, kantin, pemandian, perpustakaan, sarana ibadah, ruang kuliah, dan untuk pasien gangguan jiwa ada akomodasi yang menghibur (musik yang lembut atau pendongeng profesional).  Hebatnya lagi, pelayanannya diberikan gratis untuk seluruh pasien, tanpa memandang jenis kelamin, etnis atau penghasilan.  Bahkan saat mereka boleh pulang diberikan tunjangan agar tidak harus segera bekerja.
Semoga revolusi Mesir saat ini, mendorong rakyat Mesir untuk mendesak agar pemerintah yang baru menerapkan syariat Islam, agar Mesir meraih kembali kemuliannya dalam sejarah peradaban selama berabad-abad.[]

Nafais Tsamarat

Allah SWT berfirman (yang artinya): Dia selalu bersama kalian di mana pun kalian berada (QS al-Hadid: 4); Sesungguhnya tidak ada sesuatupun yang tersembunyi di mata Allah, baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi (QS Ali Imran: 6); Allah mengetahui mata yang berkhianat [yang mencuri pandang terhadap apa saja yang diharamkan] dan apa saja yang tersembunyi di dalam dada (QS Ghafir: 19).


Sebagian ulama mengisyaratkan, ayat-ayat ini merupakan tadzkirah (peringatan) bahwa: Allah Maha Tahu atas dosa-dosa kecil, apalagi dosa-dosa besar; Allah Mahatahu atas apa saja yang tersembunyi di dalam dada-dada manusia, apalagi yang tampak secara kasat mata.


Di sinilah pentingnya muraqabah. Muraqabah (selalu merasa ada dalam pengawasan Allah SWT) adalah salah satu maqam dari sikap ihsan, sebagaimana yang pernah diisyaratkan oleh Malaikat Jibril as. dalam hadits Rasulullah SAW, saat kepada beliau ditanyakan: apa itu ihsan? Saat itu Malaikat Jibril as sendiri yang menjawab, “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat Dia. Jika engkau tidak melihat Allah maka sesungguhnya Dia melihat engkau.” (HR Muslim).


Demikian pula sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits penuturan Ubadah bin ash-Shamit, bahwa Baginda Rasulullah SAW pernah bersabda, “Iman seseorang yang paling utama adalah dia menyadari bahwa Allah senantiasa ada bersama dirinya di manapun.” (HR al-Baihaqi, Syu’ab aI-Iman, I/470).


Dalam hadits lain Baginda Rasulullah bersabda, “Bertakwalah engkau dalam segala keadaanmu!” (HR at-Tirmidzi, Ahmad dan ad-Darimi).


Dalam Tuhfah al-Awadzi bi Syarh Jâmi’ at-Tirmidzi, disebutkan bahwa frase haytsumma kunta (dalam keadaan bagaimanapun) maksudnya dalam keadaan lapang/sempit, senang/susah, ataupun riang-gembira/saat tertimpa bencana (Al-Mubarakfuri, VI/104). Haytsumma kunta juga bermakna: di manapun berada, baik saat manusia melihat Anda ataupun saat mereka tak melihat Anda (Muhammad bin ‘Alan ash-Shiddiqi, Dalil al-Falihin, I/164).


Terkait dengan sikap muraqabah atau ihsan ini, ada riwayat bahwa Umar bin al-Khaththab pernah menguji seorang anak gembala. Saat itu Umar membujuk sang gembala agar menjual domba barang seekor dari sekian ratus ekor domba yang dia gembalakan, tanpa harus melaporkannya ke majikan sang gembala. Toh sang majikan tak akan mengetahui karena banyaknya domba yang digembalakan. Namun, apa jawaban sang gembala. “Kalau begitu, di mana Allah? Majikanku mungkin memang tak tahu. Namun, tentu Allah Maha Tahu dan Maha Melihat,” tegas sang gembala.


****


Jujur harus kita akui, sikap muraqabah (selalu merasa dalam pengawasan Allah SWT), sebagaimana yang ditunjukkan oleh sang gembala dalam kisah di atas, makin jauh dari kehidupan banyak individu Muslim saat ini. Banyak Muslim yang berperilaku seolah-olah Allah SWT tak pernah melihat dia. Tak ada lagi rasa takut saat bermaksiat. Tak ada lagi rasa khawatir saat melakukan dosa. Tak ada lagi rasa malu saat berbuat salah. Tak ada lagi rasa sungkan saat berbuat keharaman. Setiap dosa, kemaksiatan keharaman dan kesalahan ‘mengalir’ begitu saja dilakukan seolah tanpa beban. Banyak Muslim saat ini yang tak lagi merasa risih saat korupsi, tak lagi ragu saat menipu, tak lagi merasa berat saat mengumbar aurat, tak lagi merasa berdosa saat berzina, tak lagi merasa malu saat selingkuh, dll. Semua itu terjadi akibat mereka gagal ‘menghadirkan’ Allah SWT di sisinya dan melupakan pengawasan-Nya atas setiap gerak-gerik dirinya. Mengapa gagal? Karena banyak individu Muslim yang awas mata lahiriahnya, tetapi buta mata batiniahnya. Mereka hanya mampu melihat hal-hal yang kasat mata, tetapi gagal ‘melihat’ hal-hal yang gaib: pengawasan Allah SWT; Hari Perhitungan, surga dan neraka, pahala dan siksa, dst. Yang bisa mereka lihat hanyalah kenikmatan dunia yang sedikit dan kesenangan sesaat. Tentu, kondisi ini harus diubah, agar seorang Muslim kembali memiliki sikap muraqabah.


****


Adanya sikap muraqabah pada diri seorang Muslim paling tidak dicirikan oleh dua hal. Pertama: selalu berupaya menghisab diri, sebelum dirinya kelak dihisab oleh Allah SWT. Kedua: sungguh-sungguh beramal shalih sebagai bekal untuk kehidupan sesudah mati. Dua hal inilah yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, “Orang cerdas adalah orang yang selalu menghisab dirinya dan beramal shalih untuk bekal kehidupan setelah mati. Orang lemah adalah orang yang selalu memperturutkan hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah SWT.” (HR at-Tirmidzi, Ahmad, Ibn Majah dan al-Hakim).


Ketiga: meninggalkan hal-hal yang sia-sia, sebagaimana sabda Nabi SAW, “Di antara kebaikan keislaman seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tak berguna.” (HR at-Tirmidzi). Jika yang tak berguna saja-meski halal-ia tinggalkan, apalagi yang haram.


Itulah di antara wujud sikap muraqabah. Semoga kita adalah pelakunya. [] abi